Rabu, 19 Januari 2011

Suku Baduy and The Demographic Perspective” Kondisi Ekonomi Suku Baduy Di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten


BAB I
Pendahuluan


Latar Belakang

Manusia sebagai masyarakat pendukung, pemelihara, pengembang, akan mewariskan kebudayaannya kepada setiap generasi-generasi selanjutnya dimanapun manusia tersebut berada. Kumpulan manusia sebagai kelompok masyarakat membuat aturan atau norma bagi proses interaksi di antara sesama manusia, akhirnya mereka tidak dapat melepaskan diri dari aturan-aturan yang dibuatnya sehingga aturan tersebut sebagai ciri tata kehidupan manusia. Begitu pula yang terjadi pada masyarakat baduy mereka memiliki berbagai macam peraturan yang bersifat perintah maupun larangan, berbagai macam peraturan tersebut telah diterapkan dan disepakati  bersama.

Suku Baduy berlokasi di desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Rangkasbitung Banten terdiri dari kampung Gajebo, Cikeusik, Cibeo, dan Cikertawana. Yang terbagi atas baduy luar dan baduy dalam. Di daerah yang luas tanahnya 138 ha, terdiri atas 117 kk yang menempati 99 rumah yang dinamakan Culah Nyanda (rumah panggung), sedangkan rumah Kokolot atau duku dinamakan Dangka, yang menghadap keselatan. Masyarakat suku baduy yang berpenduduk kurang lebih 10.000 Jiwa ini tinggal di wilayah yang berbukit-bukit, dan berhutan-hutan. Dengan memiliki lembah yang curam sedang, sampai curam sekali. Berdasarkan hasil pengukuran langsung di lapangan wilayah-wilayah pemukiman baduy rata-rata terletak pada ketinggian 250 m diatas permukaan laut, dengan wilayah pemukiman di daerah yang cukup rendah 150 m diatas permukaan air laut dan pemukiman yang cukup tinggi pada ketinggian 400 m diatas permukaan laut. Wilayah Baduy itu berdasarkan lokasi geografinya terletak pada 60 27′ 27″ - 60 30′ LU dan 1080 3′ 9″ - 1060 4′ 55″ BT. Wilayahnya berbukit-bukit dengan rata-rata terlelak pada ketinggian 250 m diatas permukaan laut.
Baduy dibagi menjadi dua, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Secara garis besar, adat yang dipegang Baduy Dalam dan Baduy Luar sama. Perbedaan terletak pada penerapan sehari-hari. Baduy Dalam mendiami tiga kampung yang membentang dari utara ke selatan, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Jarak kampung Cibeo dan Cikeusik bisa ditempuh selama sekitar 4 jam berjalan kaki. Jalan di kampung-kampung Baduy Dalam dan sebagian besar Baduy Luar banyak yang berupa tanjakan dengan kemiringan antara 45 sampai 60 derajat. Baduy Dalam dikelilingi kampung-kampung Baduy Luar.

Kampung yang berbatasan langsung dengan Baduy adalah Ciboleger. Waktu tempuh Ciboleger ke Kaduketug-kampung Baduy yang berimpit dengan Ciboleger-hanya sekitar 5 menit. Udara di kampung Baduy tergolong bersih dan segar. Salah satunya karena suku Baduy pantang menggunakan alat transportasi, karena itu asap dari knalpot pun tidak dijumpai di kampung ini. Perjalanan di dalam kampung hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Adat yang dipegang oleh suku Baduy Dalam melarang sama sekali warganya untuk memakai alat transportasi ke mana pun mereka pergi. Bila ke kota lain, seperti Bogor atau Jakarta, mereka tetap harus berjalan kaki. Sedangkan Baduy Luar boleh memakai jasa transportasi di luar kampung, tetapi tidak boleh memiliki kendaraan pribadi. Setiap kampung di Baduy Dalam dipimpin oleh seorang puun (tetua adat). Puun bertanggung jawab menjaga adat Baduy agar tidak berubah.

Kehidupan suku Baduy memiliki ketergantungan besar terhadap alam. Ketergantungan ini diimbangi dengan menjaga alam dari kerusakan. Tanah di Baduy dibagi menjadi tiga peruntukan, yaitu sebagai lahan perladangan, permukiman, serta hutan lindung. Perladangan yang diterapkan di Baduy berpindah-pindah. Setiap tahun panen padi hanya satu kali saja. Lamanya masa tanam padi lima sampai enam bulan. Tanah yang ditinggal pergi oleh seorang peladang harus didiamkan dulu sebelum dijadikan lahan oleh warga lain agar kesuburannya terjaga. Jeda waktu sebelum tanah bisa ditanam lagi semakin singkat. Sekitar 10 tahun lalu tanah diistirahatkan sekitar 10 tahun, sekarang hanya didiamkan tiga sampai lima tahun. Siklus yang semakin cepat ini dipicu oleh pertambahan jumlah penduduk Baduy. Efeknya tentu tampak pada kualitas dan kuantitas produksi padi. Perpindahan ladang umumnya dilakukan setelah satu sampai dua kali panen, meskipun ada juga warga yang baru pindah ladang setelah empat kali panen. Hasil panen di tanah yang sama akan terus menurun setiap tahun. Karena penurunan hasil panen pada setiap tahunnya membuat masyarakat baduy mengalami pergeseran yang semula hanya mengandalkan hasil panen padi kini banyak yang memiliki pekerjaan sampingan seperti, menanam pohon yang menghasilkan keuntungan lebih besar dan memanfaatkan hasil hutan seperti madu, durian, kopi, pisang dll yang pada akhirnya berbagai komoditas tersebut akan di jual ke masyarakat luar baduy. Pergeseran yang terjadi menjadi sorotan sebagian besar para akademis karena dengan pergesaran tersebut pastinya terdapat dampak positif dan negatif pada masyarakat baduy. Kami akan mencoba menjabarkan perubahan apa saja yang terjadi pada masyarakat baduy dari sudut pandang ekonomi dan upaya pemerintah dan para akademis menanggapi berbagai nilai-nilai yang mulaibergeser pada masyarakat baduy.

1.1Realitas Masalah Sosial Suku Baduy

Masalah lingkungan hidup telah menjadi sorotan berbagai negara dan organisasi di tingkat lokal maupun tingkat dunia, karena perubahan suhu di bumi berganti begitu ekstrim dan mengkhawatirkan. Berbagai macam faktor dikemukakan oleh para ahli dari dunia Internasional. Menurut Legget (1990), “ Dinegara maju, masalah lingkungan umumnya terjadi diakibatkan oleh berbagai kegiatan perindustrian modern yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan”.[1] Globalisasi dan maju tekhnologi dan informasi membuat manusia haus akan inovasi baru yang pada nantinya akan memudahkan manusia dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari dan guna memenuhi berbagai macam kebutuhan manusia itu sendiri. Terkadang manusia hanya memikirkan keutungan yang akan mereka dapat tanpa memperdulikan dan memperhatikan dampak negatif terhadap lingkungan. Sedangkan menurut Donner(1987), Harjono(1991), Rice(1991), Potter(1991) “Berbeda dengan negara maju, di negara berkembang pada umumnya masalah lingkungan terjadi akibat kemiskinan, pertambahan penduduk yang cepat dan  juga kegiatan industri yang dilakukan negara maju dengan memanfaatkan negara berkembang sebagai tempat sarana produksi”.[2]   

Begitu pula permasalah yang terjadi pada Suku Baduy, perubahan struktur alam dan ekonomi terjadi karena berbagai faktor. Faktor internal karena adanya pertambahan penduduk sedangakan faktor eksternal terjadi karena adanya pengaruh ekonomi pasar membuat masyarakat Baduy mengalami pergeseran khususnya baduy luar. Pada hakekatnya makhluk hidup dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan timbal balik. Faktor internal yaitu pertambahan penduduk yang begitu cepat membuat masyarakat baduy terus menggeser lahan yang ada guna membuat pemukiman, seperti yang telah kita ketahui ada 3 Zona area pada lahan pegunungan, yaitu Pertama zona pemukiman penduduk, zona dua adalah ladang pertanian dan zona tiga adalah hutan lindung. Perubahan  zona 3 dan dan zona 2 menjadi pemukiman mengakibatkan lahan untuk pertanianpun semakin bergeser dan berada di zona 1. Lalu setelahhal ini terjadi yang kita pertanyakan adalah kemanakah hutan lindung saat ini? Itulah yang dimaksud oleh Donner dkk perubahan lingkungan yang terjadi karena kemiskinan dan pertambahan penduduk.

Adanya anggapan bahwa masyarakat baduy tidak mengenal mata uang merupakan hal yang tidak benar, karena pada faktanya masyarakat baduy sudah menggunakan alat tukar uang sudah sejak lama. Hal ini terjadi karena banyaknya tuntutan kebutuhan pada saat itu dan saat ini, lalu bagaimana masyarakat baduy menyesuaikan diri guna mempertahankan hidupnya?
Masayarakat baduy cenderung memiliki pekerjaan bertani karena menurut mereka berani merupakan perintah agama “ sunda wiwitan” bertani merupakan suatu kewajiban yang pada nantinya hasil tani akan di persembahakan pada Nyi Pohaci atau dewi padi. Lalu apakah pekerjaan sebagai seorang petani cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari?
Suku baduy cenderung menaruh hasil pertanian mereka pada lumbung padi yang disebut Luit, padi yang mereka hasilkan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dan pada umumnya padi tersebut akan mereka simpan di dalam luit atau menurut masyarakat kota disebut menabung karena padi tersebut akan mereka manfaatkan ketika mereka sudah tidak mampu lagi untuk berladang atau simpanan padi tersebut dapat di wariskan kepada anak cucu mereka. Ketekunan dan kepemilikan lahan membuat perbedaan akan jumlah padi yang mereka miliki antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Jika kepemilikan itu berbeda adakah stratifikasi atau tingkatan ekonomi pada masyarakat baduy?

1.2 Relevansi Teori dengan Alternative Solusi di Suku Baduy
Persepsi  Kelompok Terhadap Alternatif Solusi
Melihat dari rumusan masalah yang ada, maka kelompok memberi tanggapan mengenai alternatif solusi pada masyarakat suku Baduy di bidang ekonomi yaitu, Mayoritas masyarakat Baduy merupakan Petani, untuk itu lebih baik mereka diharuskan untuk lebih berkonsentrasi di bagian tanam-menanam saja, tanpa harus memiliki pekerjaan tambahan lagi seperti pedagang. Menjadi pedagang boleh, namun tidak dijadikan sebagai pekerjaan utama. Dengan telah mengenal uang sebagai alat tukar maka masyarakat Baduy diharapkan agar tidak berlaku konsumtif dan bersifat individualis dengan menghilangkan system tolong menolong secara ikhlas berganti menjadi system pamrih.

Baduy merupakan kawasan yang sudah terbuka untuk umum, maka dengan itu masyarakat Baduy diharapkan dapat melestarikan lingkungan mereka. Karena bagaimanapun juga, setiap pengunjung yang datang kesana pasti akan membawa dampak buruk bagi lingkungan. Sebagai contoh, sampah. Sampah merupakan bagian hidup dari manusia. Setiap manusia hidup, pasti akan menghasilkan sampah. Begitu juga dengan masyarakat Baduy. Mereka dapat mengatasi sampah mereka dengan membakar sampah di tungku. Lalu bagaimana dengan sampah yang dihasilkan oleh para pengunjung? Para pengunjung biasa membuang sampah sembarangan. Hal ini dapat merusak lingkungan dan kebudayaan di Baduy. Untuk itu, masyarakat Baduy seharusnya memberikan sosialisasi kepada pengunjung bagaimana harus memperlakukan sampah tersebut. Sampah tersebut diharuskan dikumpulkan ke plastik  sampah yang kemudian nanti pada saat pengunjung pulang, sampah tersebut dibakar oleh orang yang rumahnya mereka tinggali. Hal itu sangat efisien disbanding dengan harus membuang dikali atau membuang sembarangan di jalan.

Meskipun Baduy merupakan suku yang terasingkan dan menjauhkan diri dari dunia peradaban, namun pemerintah tidak diam saja dalam arti tidak memperdulikan hidup mereka. Pemerintah telah memberi solusi untuk melestarikan suku tersebut agar hidup lebih baik lagi dan menjaga agar komunitasnya tidak punah. Seharusnya masyarakat Baduy tersebut mengikuti saran yang telah diberikan oleh pemerintah, namun dengan tidak meninggalkan adat istiadat. Karena bagaimana pun juga, pemerintah melakukan hal tersebut, agar kelangsungan hidup masyarakat Baduy tetap baik dan terjaga.

Perubahan Sosial adalah
Teori Durkheim mengenai Perubahan Solidaritas Mekanik menjadi Organik.


BAB II
Kerangka Teori

2.1 Hakekat Ekologi Sosial

Inti permasalahn lingkungan hidup adalah hubungan makhluk hidup, khususnya manusia dengan lingkungan hidupnya.  Ilmu tentang hubngan timbal balik makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya  disebut ekologi. Oleh karena itu permasalahan lingkungn lingkungan hidup pada hakekatnya adalah permasalahn ekologi.
Istilah ekologi pertama kali digunakan oleh Haeckel, seorang ahli ilmu hayat, dalam pertengahan dasawarsa 1860-an. Istilah berasal dari bahasa yunani yaitu oikos yang berarti rumah dan logos berarti ilmu. Ekologi dan ekonomi mempunyai banyak persamaan. Hanya saja dalam ekologi  mata uang yan dipakai dalam transaksi bukanlah uang rupiah atau dollar.melainkan materi, energi, dan informasi. Arus materi, energi dan informasi. Dalam suatu komunitas atau antara beberapa komunitas mendapat perhatian utama dalam ekologi, seperti halnya arus uang dan ekonomi. Oleh karena itu  ekologi dapat juga dikatakan ekonomi alam, yang melakukan transaksi dalam bentuk materi,energi dan informasi.
Manusia cenderung melihat permasalahan antroposentris atau melihat dari kepentingan manusia itu sendiri. Suatu konsep sentral dalam ekologi ialah ekosistemya itu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubingan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Menurut pengertian, suatu sistem terdiri atas komponen-komponen yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Keteraturan itu terjadi oleh adanya arus materi dan energi yang terkendali oleh arus informasi antara komponen dalam ekosistem. Keteraturan tersebut menunjukan keseimbangan didalamnya, keseimbangan itu tidaklah bersifat statis tetapi lebih dinamis. Ia selalu berubah-ubah dan perubahan tersebut dapat terjadi secara alamiah maupun sebagai akibat perbuatan manusia. Begitu pula yang ada pada masyarakat baduy keseimbangan akan terjadi jika adanya keteraturan mengenai pemanfaatan hutan dan penghijauannya kembali, pada masyarakat baduy saat ini telah terjadi ketimpangan antara sumber daya dengan pemanfaatannya. Hal tersebut ditandai dengan beralihnya hutan lindung menjadi lahan pertanian, fenomena ini membuktikan bahwa ketimpangan telah terjadi di masyarakat baduy.

2.2 Sistem Perekonomian

Suatu sistem dapat diibaratkan seperti lingkaran-lingkaran kecil yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Lingkaran-lingkaran kecil tersebut merupakan suatu subsistem. Subsistem tersebut saling berinteraksi dan akhirnya membentuk suatu kesatuan sistem dalam lingkaran besar yang bergerak sesuai aturan yang ada.
Sistem ekonomi dapat berfungsi sebagai : Sarana pendorong untuk melakukan produksi Cara atau metode untuk mengorganisasi kegiatan individu Menciptakan mekanisme tertentu agar distribusi barang dan jasa terlaksana dengan baik.

Sistem Ekonomi Tradisional.
Sistem ekonomi tradisional merupakan sistem ekonomi yang diterapkan oleh masyarakat tradisional turun temurun dengan hanya mengandalkan alam dan tenaga kerja.

Ciri dari sistem ekonomi tradisional adalah :
·         Teknik produksi dipelajari secara turun temurun dan bersifat sederhana
·         Hanya sedikit menggunakan modal Pertukaran dilakukan dengan sistem barter (barang dengan barang)
·         Belum mengenal pembagian kerja Masih terikat tradisi Tanah sebagai tumpuan kegiatan produksi dan sumber kemakmuran

Kelebihan sebagai berikut
·         Tidak terdapat persaingan yang tidak sehat, hubungan antar individu sangat erat
·         Masyarakat merasa sangat aman, karena tidak ada beban berat yang harus dipikul
·         Tidak individualistis Kelemahan dari sistem ekonomi tradisional adalah :Teknologi yang digunakan masih sangat sederhana, sehingga produktivitas rendah
·         Mutu barang hasil produksi masih rendah



2.3 Teori Perubahan Sosial
Perspektif Teori tentang Perubahan Sosial; Struktural Fungsional dan Psikologi Sosial

Perkembangan masyarakat seringkali dianalogikan seperti halnya proses evolusi. suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan Augus Comte. Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.
Bahasan tentang struktural fungsional Parsons ini akan diawali dengan empat fungsi yang penting untuk semua sistem tindakan. Suatu fungsu adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Parsons menyampaikan empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu :

1.      Adaptasi merupakan sebuah sistem yang harus menanggulangi sirkulasi eksternal yang gawat. sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
2.      Pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
3.      Integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan antara bagian yang menjadi komponennya. sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.
4.      Pemeliharaan pola, sebuah sistem harus dapat melengkapi, memelihara dan memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultura yang menciptakan dan menopang motivasi.








BAB III
Pembahasan

3.1  Kondisi Faktual Sistem Ekonomi Suku Baduy

A.    Gajeboh
Perekonomian di Gajeboh ditopang dari Baduy Dalam (Cibeo, Cikatawarna dan Cikeusik) dan Rangkasbitung. Masyarakat baduy merupakan suku asli Banten yang masih menjaga anti modernisasi, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Masyarakat suku baduy ini memiliki konsep inti kesederhanaan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka yang sampai saat ini belum pernah mengharapkan bantuan dari luar. Mereka mampu secara mandiri dengan cara bercocok tanam dan berladang (ngahuma) serta menjual hasil kerajinan tangan khas baduy, seperti Koja dan Jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu Teureup); tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung serta golok atau parang.

Sedangkan mata pencaharian utama masyarakat di wilayah ini bekerja dari sektor pertanian dan perkebunan dari lahan yang digarap, hal ini dapat tercermin dari peralatan-peralatan seperti cangkul, caping, golok , gergaji dan alat lain untuk mendukung aktivitas mereka selama bertani dan berkebun, peralatan-peralatan ini kami temukan pada saat kami menginap di rumah salah seorang warga. Pengumpulaan bahan makanan langsung di Gajeboh biasanya dilakukan dengan cara menanam tanaman buah-buahan , umbi-umbian, obat-obatan dan lainnya pada lahan sekitar. Namun jika sudah panen masyarakat ini akan menjualnya ke pasar-pasar terdekat hingga pasar induk di Jakarta. Hasil pertanian wilayah ini biasanya berupa durian, pisang, pete, dan singkong.

Jika kami melihat dari keseharian kehidupan masyarakat baduy, maka kami beranggapan bahwa tidak adanya stratifikasi ekonomi di dalam kehidupan mereka. Dimana tidak adanya keserakahan yang terjadi diantara mereka karena banyaknya larangan yang diatur dalam hukum adat mereka. Sehingga kehidupan mereka terasa sangat damai dan nyaman. Namun jika kita ingin mengetahui adanya stratifikasi di wilayah Gajeboh tersebut, maka kita cukup mengetahui berapa jumlah lumbung padi yang mereka miliki dari setiap kepala rumah tangga. Karena jumlah lumbung padi tersebut dapat menunjukan tingkatan ekonomi yang mereka miliki dalam setiap kepala rumah tangga. Makin banyak lumbung padi yang mereka miliki maka makin tinggi tingkatan ekonominya.

Dengan pemaparan diatas maka dapat dikatakan bahwa perekonomian di Gazeboh merupakan perekonomian tradisional. Namun hal tersebut kini telah bergeser dimana perekonomian tradisional tersebut kini telah mengarah ke arah modern. Dimana masyarakat baduy kini telah mengenal uang, serta mereka telah menginggalkan tradisi barter dengan jual-beli. Selain itu dalam kehiudpan sehari-hari mereka khususnya dalam hal pangan di wilayah baduy luar ini telah mengenal makanan cepat saji seperti PopMie dan berbagai minuman atau soft drink yang sering kita temui di kota.

B.     Cibeo
Cibeo merupakan sebuah desa yang dihuni oleh masyarakat Baduy Dalam. Aktivitas perekonomian di daerah ini didominasi oleh bercocok tanam atau berladang dengan sistem berpindah-pindah. Masyarakat baduy, khususnya baduy Dalam, menggantungkan hidupnya pada pertanian tradisional. Mereka menanam padi dan palawija di ladang tadah hujan (huma). Sesuai adat, pengolahan pertaniannya tidak boleh menggunakan alat-alat berat, seperti cangkul dan bajak dengan alasan akan merusak kesuburan tanah. Sedangkan alat pertanian yang digunakan di Baduy tergolong sederhana yakni koret (arit), kayu untuk membuat lubang tempat benih, serta etem (ani-ani) itu semua adalah alat-alat yang digunakan dalam perladangan masyarakat Baduy.

Mereka juga tidak diperbolehkan membelokkan air untuk pengairan huma. Padi yang dipanen selama satu tahun sekali ini disimpan dalam lumbung (leuit). Padi yang disimpan dalam lumbung khas baduy bisa bertahan hingga puluhan tahun. Padi tersebut, sesuai adat, tidak boleh dijual. Selain menjadi petani, masyarakat baduy juga menjual hasil tanaman lain, seperti pisang, mentimun, durian, kacang panjang, kacang tanah, kunir, jahe, dan kencur. Hasil bumi ini dijual ke pasar tradisional terdekat, antara lain di Ciboleger, Karoya, atau Rangkasbitung. Selain bertani, mereka juga memiliki kerajinan tangan seperti membuat gelang dari serabut pohon, cincin dari rotan yang kemudian dijual kepada wisatawan maupun didistibusikan ke Baduy Luar. Di Baduy Dalam tidak terdapat aktivitas penggembalaan, karena Di Baduy Dalam terdapat larangan untuk memelihara hewan berkaki empat kecuali anjing karena digunakan untuk berburu. Hewan berkaki empat seperti sapi, kambing, kerbau, kuda, dan babi menurut mereka merupakan binatang yang merusak tanaman.

Sama halnya dengan Gajeboh di wilayah baduy dalam pun tidak terlihat adanya stratifikasi ekonomi di dalam kehidupan masyarakat baduy dalam. Hal ini menunjukan karena ada banyaknya larangan yang diatur dalam hukum adat mereka. Terbukti dengan keadaan bangunan rumah mereka yang sama, hal ini terbukti bahwa tidak adanya stratifikasi didalam baduy dalam (Cibeo) serta tidak terlihatnya orang yang kaya ataupun miskin. Namun untuk mengukur kekayaan yang mereka miliki kita dapat melihatnya dari jumlah lumbung padi yang mereka miliki. Dengan pemaparan diatas maka dapat dikatakan bahwa perekonomian di Cibeo merupakan perekonomian tradisional. Terlihat dari sistem mata pencarian mereka yang masih memakai sistem pertanian tradisional.

3.2 Hubungan Sistem Ekonomi dengan Perubahan Sosial Suku Baduy

Hubungan antara Sistem Ekonomi dengan Perubahan Sosial  Pertumbuhan penduduk Baduy yang relatif pesat (3,7% per tahun) merupakan salah satu dampak . Karena adanya Pertumbuhan Penduduk maka terjadinya pergeseran nilai-nilai ekonomi yang terjadi di Suku Baduy.

3.3 Analisis kaitan Sistem Ekonomi dengan Perubahan Sosial
Ada beberapa faktor internal dan faktor eksternal yang menyebabkan perubahan ekologi, sosial, ekonomi dan budaya dalam masyarakat suku Baduy. Faktor internal yang utama yaitu adanya perubahan penduduk, dan faktor eksternal yaitu adanya pengaruh ekonomi pasar. Pertumbuhan penduduk tersebut disebabklan oleh laju kelahiran, kematian serta migrasi. Namun untuk migrasi masuk bisa dibilang tidak ada karena tidak ada masyarakat non-baduy yang menetap atau menjadi suku Baduy. Namun kalau keluar misalnya suku Baduy yang keluar untuk menggarap ladang di desa laen yang biasa disebut dengan nganjor, yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Baduy luar. Secara umum jumlah penduduk Baduy tidak seimbang karena jumlah penduduk Baduy Dalam lebih sedikit dari pada Baduy Luar padahal daerah teritorial penduduk Baduy Dalam lebih luas di banding Baduy Luar.
           


Baduy Luar lebih sering berkomunikasi dengan masyarakat luar dan banyak terlibat dalam kegiatan ekonomi pasar, perubahan pun lebih cepat dan banyk terjadi di Baduy Luar. Bisa dilihat hasil tanaman Baduy luar tidak hanya berfokus pada tanaman padi saja namun ada pula pembudidayaan jenis tanaman komersil seperti cengkeh dan kopi yang ditanam di lahan mereka yang dianggap skral dan kendatipun telah dilarang. Pandangan perubahan ini di motivasi karena tanaman tersebut menjanjikan banyak keuntungan. Tanaman Albasiah juga memberi banyak keuntungan ekonomi, selain bisa dijual kebandar kayu juga dapat membantu mempercepat penyuburan tanah. Berdasarkan adat tersebut mereka harus hidup sederhana dan bekerja keras secara saksama yang di sebut tapa (danasasmita dan Djatisunda, 1986;Garna 1988) melalui tapa mereka menghindari hidup mewah dan tidak mau meramaikan negara.[3]


3.4 Asumsi Perubahan Kedepan

Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu Suku Baduy. Suku Baduy mendiami kawasan Pegunungan Keundeng, tepatnya di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Masyarakat Baduy memiliki tanah adat kurang lebih sekitar 5.108 hektar yang terletak di Pegunungan Keundeng. Mereka memiliki prinsip hidup cinta damai, tidak mau berkonflik dan taat pada tradisi lama serta hukum adat. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, masyarakat yang memiliki konsep inti kesederhanaan ini belum pernah mengharapkan bantuan dari luar. Mereka mampu secara mandiri dengan cara bercocok tanam dan berladang (ngahuma), menjual hasil kerajinan tangan khas Baduy, seperti Koja dan Jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu Teureup); tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung serta golok/parang, juga berburu.

Asumsi yang ada terhadap suku baduy yaitu bahwa suku ini sebaiknya tidak dipekenankan untuk menerima modernisasi yang ada seperti saat ini. Karena apa yang sudah dipertahankan adalah penjagaan terhadap kebudayaan khas dari salah satu suku yang ada di jawa barat yang wajib di lestarikan. Walaupun memang suku ini benar-benar sangat terbelakang tetapi tidak harus semua hal yang sudah menjadi tradisi di rubah akibat dari modernisasi. Mungkin  Seiring kemajuan zaman, manusia bisa lbh intens berinteraksi dengan  sesama manusia dari seluruh penjuru dunia. Pemikiran2 akan bertemu dlm berbagai media. Sehrsnya, situasi ini menguatkan budaya saling menghormati dlm perbedaan .

Warga Baduy di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten membangun jalan antardesa dengan dukungan pendanaan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri), dalam hal ini PNPM Mandiri Perdesaan. Pembangunan jalan tersebut, diharapkan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. “Jalan yang dibangun itu menghubungkan Desa Kanekes-Nayagati sepanjang 180 meter”. Dari hal itu sudah terlihat jelas bahwa kemudahan dan pembaruan itu terjadi tetapi tidak mengurangi nilai nilai yang ada. Salah satu faktor yang terpenting adalah perbaikan sektor prekonomian daerah sekitar Baduy, di perlukan pemerataan dalam pemanfaatan  hutan yang di jadikan sebagai pemanfaatan lahan.

Meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya lahan untuk menunjang pembangunan telah meningkatkan tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya lahan di daerah sekitar Baduy . Selain itu, pengembangan sumberdaya lahan juga menghadapi timbulnya konflik kepentingan berbagai sektor yang pada akhirnya masalah ekonomi menjadi kontra produktif satu dengan lainnya. Keadaan ini diperburuk lagi dengan sistem peraturan yang dirasakan sangat kompleks dan seringkali tidak relevan lagi dengan tingkat kesesuaian dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar, dapat menyebabkan sistem pengelolaan sumberdaya lahan yang tidak setabil. Sistem Perencanaan dan Pengembangan Sumberdaya Lahan dan Tata Ruang merupakan landasan yang mengatur ke adaan lingkungan sekitar. menggukanan sisitem peraturan adat daerah suku Baduy untuk menjaga kelestarian hutan.

Salah satu tantangan suku Baduy adalah menjaga agar kualitas hidup suku Baduy terus meningkat dan pembangunan tetapsetabil. Dalam kaitan ini, hal yang sangat penting adalah bagaimana mengaktualisasikan konsep pembangunan berkelanjutan menjadi komitmen dan arahan untuk melakukan tindakan nyata dalam berbagai kegiatan pengolahan lahan. Sesuai dengan perhatian dan kepentingan semua pihak untuk menjaga keberlanjutan pembangunan serta menjamin kelestarian bumi dengan segala isi dan kehidupannya, lahan hutan yang menjadi penghidupan menjadikan lahan usaha yang membangun suku Baduy menjadi lebih baik, system perekonomian orang Baduy dalam menggambarkan system yang tertutup, dalam arti aktivitas perekonomian dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari dan di produksi serta di kosumsi di lingkungan merekasendiri.

Pertanian merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang utama dan penting, dengan pandangan mereka bahwa aktivitas ekonomi ini hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari dan bukan untuk memperkaya diri. Maka tidak banyak aktivitas mereka yang di lakukan seperti masyarakat luar pada umumnya. Masyarakat Baduy belajar di sector pertanian sesuai dengan aturan yang telah di tentukan. Berladang merupakan kewajiban agama. Mereka beranggapan bahwa mereka bertempat tinggal didaerah yang sakral (geise,1952).[4] Menurut kewajiban sosial,mereka harus memelihara adat yang telah diwariskan secara turun temurun oleh leluhur.  Bertani adalah mata pencarian utama masyarakat Baduy, tetapi dalam mengelolah lahan / tanah mereka tetap memegang aturan-aturan yang telah digariskan oleh pikukuhnya, yaitu tanah tidak boleh dicangkul sehingga erosi di setiap lahan pertanian orang Baduy relatif dapat dihindarkan atau kecil sekali. Begitu pula untuk melindungi tata air, kebersiahn dan kelestarian dari adanya pencemaran sungai, pembuatan rumah, penempatan lumbung padi, semuanya berintegritasi secara fungsional dalam kehidupan mereka yang hidup berdasarkan pikukuh aturan adat.
Dalam pengertian lain lain, ngahuma dianggap sebagai kewajiban agama dan fungsi ekonomi.karenanya kendatinya secara ekonomi berladang tdak atau kurang menguntungkan, praktek iniharus tetap mereka melakukan karena berpijak pada dokrin kewajiban agaama dan salah satu menjadi identitas khas mereka. Ekonomi yang ditetapkan oleh mereka lebih bersifat substansi dan sangant terikat dengan budaya masyarakat ( embedded in culture) (c.f. Plattner 1989:3-4 ; Granovater 1985)[5].

Seluruh warga komunitas belajar untuk bekerja di sektor pertanian sesuai dengan aturan yang telah ditentukan, mereka dituntut untuk melakukan terhadap apa yang telah di gariskan apakah tentang waktu pengolahan tanah, jenis tanaman, proses pengolahan tanah, maupun memanen hasil pertaniannya. Pada masa tidak sedang bekerja di ladang, para laki-laki bekerja di hutan untuk berburu dan memanen madu, Orang Kanekes dalam dipebolehkan untuk berburu namun hanya dalam konteks untuk memenuhi kebutuhan upacara-upacara tertentu saja; hewan-hewan buruan juga terbatas pada jenis kancil, menjangan, dan tupai.

Meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya lahan untuk menunjang pembangunan telah meningkatkan tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya lahan di daerah. Selain itu, pengembangan sumberdaya lahan juga menghadapi timbulnya konflik kepentingan berbagai sektor yang pada akhirnya masalah ekonomi menjadi kontra produktif satu dengan lainnya. Keadaan ini diperburuk lagi dengan sistem peraturan yang dirasakan sangat kompleks dan seringkali tidak relevan lagi dengan tingkat kesesuaian dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Keadaan ini, dapat menyebabkan sistem pengelolaan sumberdaya lahan yang tidak lancar.


BAB IV
Penutup
4.1 Kesimpulan

Sektor ekonomi meruakan perangsang bagi sektor lain (Chenery dan watanabe  ;1958 ). Artinya derajat ketergantungan berbagai industri ditentukan kaitannya dengan mata rantainya yang satu dengan yang lain.[6] Dimana suku Baduy terdapat suatu keseimbangan yang dinamakan ’homeostatis’ yaitu kemampuan ekosistem untuk menaham berbagai perubahan dalam sistem secara keseluruhan. Dimana hidup mereka tergantung kepada alam, dimana mereka tinggal. Mereka sangat menghormati alam atau lingkungan yang mereka tempati apalagi mereka mempunyai seorang kepala adat yang sangat mereka hormati dan sangat mereka patuhi segala aturannya. Sektor ekonomi lah yang merangsang perubahan disana, karena suku Baduy mulai mengenal adanya sistem jual beli, mereka mengenal mata uang karena sektor ekonomilah yang menuntut mereka untuk memenuhi kebutuhan materi mereka. Kegiatan industri yang lainnya juga sangat berkaitan erat dengan sektor ekonomi dimana ketika ekonomi mereka turun maka sektor yang lain pun ikut turun, adanya keseimbangan maupun kemampuan mereka untuk memahami berbagai perubahan yang ada secara keseluruhan.